Sejarah Radio Rimba Raya Di Bawa Ke Bireuen

Terlepas dari siapa yang membeli peralatan pesawat tersebut, Radio Rimba Raya dibawa ke Bireuen. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara. Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue, sebagai cadangan sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Koetaradja direbut musuh. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan. Sebelumnya, perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke kampung Burni Bies, kecamatan Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di kawasan itu tidak baik, penjajah Belanda sedang memantau proses pengiriman perangkat radio itu, maka oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke kampung Rime Raya yang saat itu masuk Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Aceh Tengah.[4]
Peralatan “diungsikan” ke Aceh Tengah tanggal 20 Desember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena risiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya).
Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Kabel dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen, dan berhasil ditemukan.
Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime (Rimba) Raya. Daerah itu sebelumnya bernama Desa Tanoh Ilang (Tanah Merah). Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.